Hati itu kaya makna

Nggak semua yang dirasakan itu bisa dan layak untuk diutarakan.

Hati itu kaya rasa

Sebaliknya, tidak semua yang diutarakan itu juga bisa tersampaikan dan diterjemahkan dalam hati, kecuali rasa.

Hati itu jujur

Tak Ada tawa dan duka dalam kepalsuan. Biar hati yang menentukan

Hati itu peka

Seringkali semua yang terlihat menjebak manusia dalam persepsi, terkadang dangkal.

Hati itu Dunia

Semua misteri di dunia ini mampu kita pecahkan, kecuali dalamnya hati seseorang. Manusia tercipta bukan untuk menyakiti dunia. Karena dunia ada dalam hati manusia.

Tampilkan postingan dengan label blogger. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label blogger. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 September 2015

Pulang

Manusia mempunyai kemampuan untuk mempertahankan diri sendiri. Ini menjadi bekal awal yang sebenarnya tidak disadari. Kemampuan ini akan muncul disaat-saat tertentu. Bahasa kerennya The power of Kepepet.  Sayangnya, manusia menganggap ini bukan bagian dari munajat Tuhan dan tidak berusaha dikembangkan. Saya tidak akan berbicara mengenai keajaiban. Saya hanya berusaha menterjemahkan hidup dalam perspektif yang lebih luas.

Seperti biasa saya nangkring di tokoku, ND Pendent. Toko ini menyediakan ban dan velg mobil, baik baru maupun bekas.  Terobosan berbau ngasal yang dirintis dari jaman kuliah ini genap berusia 6 tahun. Hasilnya lumayan. Membiayai kuliahku sampai pasca sarjana. Di Bulan Ramadhan ini, menghabiskan waktu  disana melupakan salah satu solusi terbaik untuk menunggu waktu berbuka puasa. Dari sisi ibadah, godaan  dalam menjalankan ibadah juga minim.

Hari ini berjalan dengan  baik. Baiknya untuk istirahat saja, maksud saya. Panasnya menguapkan semua. Baik cairan didalam tubuh, maupun kadar kecerdasaan yang saya miliki. Diawal bulan puasa ini, dunia variasi otomotif cenderung lesu. Beruntunglah, Ada beberapa pelanggan yang mampir. Disitu cobaan datang. Bekerja dilapangan itu memang penuh tantangan. Kita dituntut untuk mampu menakar kadar tenaga dengan kondisi cuaca, disisi lain juga harus mampu mengatur energi sampai waktu buka tiba.  Cilakanya, kadar moodku juga ikut menguap.

Waktu sudah menunjukkan pukul 5 lebih. Saatnya aku bersiap dan bergegas pulang. Keluarga tercinta pun sudah mengabarkan bahwa mereka sudah menyiapkan hidangan istimewa untuk buka puasa hari ini. Menarik. Kupersiapkan energi dan charger terbaik untuk menemani 30 menit perjalanan pulang. Yak, sepasang headset dan pemutar mp3 dari smartphone usang. Layaknya penyiar radio, kusiapkan playlist  berisi 8 lagu untuk berkaraoke di udara.  Deta, si  Motor tua ini pun segera melaju ditengah ramainya lalu lintas.

Sore yang padat. Semua orang sepertinya sedang berlomba untuk memacu kendaraannya demi menembus waktu. Harapannya, bisa berbuka puasa dengan tepat waktu dirumahnya masing-masing. Demikian pula diriku, dahaga ini terasa semakin mempersempit aliran darah ke kepala. Mata mulai terasa perih akibat lautan karbon monoksida bercampur debu. Entah mengapa, semakin berusaha untuk menemukan jalan pintas disela-sela antrian truk dan bus, disitu pula aku mengalami stagnansi. Alih-alih memperbaiki mood, pilihan lagu yang berputar ikut mendukung suasana chaos itu. Double time swing ini membuatku semakin menggila.

Sepertinya alam tau, bahwa dalam beberapa menit kedepan, aku akan mencapai boiling point.  Titik Didih. Dan, kado itu datang. Titik didihku hadir lebih cepat. Ditengah kemacetan itu aku bersebelahan dengan sesosok wanita. Lebih tepatnya ibu-ibu.  Bertubuh gemuk dan berkulit sawo matang, menggunakan motor matic, dan membonceng dua keranjang dibelakangnya. Saya nyaris mengiranya gila karena mendengar dia seperti sedang bicara dengan dunianya sendiri. Jangankan suara di headsetku, Raungan knalpot motorku pun sepertinya ditelan mentah-mentah oleh lantangnya suara wanita ini. Aku memutuskan untuk mengamati absurdnitasnya lebih jauh.

Kami belum bergerak. Observasiku mencapai hipotesisnya. Tebakan pertamaku, dia adalah seorang wanita yang menghabiskan waktunya untuk berjualan dipasar tradisional. Ini diperkuat dari dua keranjang yang dia boceng dibelakangnya. Hipotesis ini diperlemah karena motor yang dia gunakan terlalu bersih untuk bersinggungan dengan dunia perbecekan. Tebakan keduaku, dia adalah seorang sales keliling. Selain keranjang, beberapa kardus didalam keranjangnya menguatkan dugaan ini . Namun, terlepas dari hipotesis-hipotesis yang muncul tadi, ada sebuah pertanyaan besar yang muncul dibenakku.  Apakah dia lupa bahwa seharusnya dia sudah pulang dari tadi dan menyiapkan menu berbuka untuk keluarga tercinta.

Fokusku terpaku pada perilaku ibu ini. Terkadang suaranya melengking dan membuat semua pengendara motor yang ada disekitarnya menoleh. Terkadang dia  bersuara konstan. Seperti berbicara tapi berirama. Aku menyimpulkan kalo dia sedang bernyanyi, Dan konsisten falesnya. Aku merasa hari ini adalah hari paling bahagia yang dia alami. Sorotan-sorotan tajam dari pengendara sekitar akibat suara-suara rancunya ditanggapi dengan senyuman. Keheranan dan hiruk pikuk semua pengendara dijalan yang macet sore itu seolah menambah kegembiraan yang sedang dia hadapi. Ibu ini fana..

Kemacetan pun berangsur-angsur terurai. Walau demikian, keinginan untuk berbuka puasa dirumah sudah kuikhlaskan. Azan telah berkumandang. Tapi kepalang tanggung, walau Para penjaja es buah dan kolak terus menggoda, mengajak untuk berbuka bersama.  Sekitar 15 menit tambahan waktu perjalanan pulang ini kunikmati sambil melihat muda-mudi menenggak es kelapa muda. Berusaha mensuggesti  rasa walau dengan menelan ludah sendiri.  Mas Aditya Sofyan mulai memainkan dawai gitarnya dan bernyanyi parau. Gaze. Tiba-tiba ingatanku kembali kepada sosok ibu gemuk dan energik tadi. Aku tiba-tiba takut. Jangan-jangan suara yang dilantunkannya dalam bentuk nyanyian tadi adalah mantera-mantera agar semua  orang dalam radius 3 meter disekitarnya kena pelet!. 

Jujur, Aku terharu dengan semangat hidupnya. Bagaimana dia mentransformasi semua energi negatif yang ada disekitarnya menjadi elemen-elemen positif. Aku sendiri tidak memungkiri bahwa selepas pertemuan tadi aku merasa lebih tenang walau harus menahan 15 menit lebih lama untuk berbuka. Entah bagaimana, semua kejengkelan tadi sirna. Aku merasa malu. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, aku hampir yakin bahwa apa yang dia dapatkan mungkin tidak sebanding dengan perjuangan yang dilakukan. Belum lagi, tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu bagi keluarganya. Tentunya ini akan menyedot banyak energi dan materi. Disisi lain,dengan dia memilih profesi sebagai pedagang/sales, tentunya dia akan terbebani dengan target penjualan. Apalagi di Semarang, kondisi transaksi perekenomian sedang cenderung lesu. Aku yakin pasti sang ibu tetap memikirkan hal tersebut. Namun, sepertinya dia melarung semua dogma itu, jauh sebelum dia bertolak pulang. Beliau menyiapkan kado terbaik untuk bertemu keluarganya. Kado itu bernama kegembiraan. Ibu ini membuka katup berfikirku. Menalanjangi sisi-sisi negatif yang seharusnya tidak perlu aku gubris. Ibu gendut ini mengajarkan keindahan yang sebenarnya. Kesederhanaan dalam membangun komposisi kebahagiaan.  Kesadaran untuk menjadi bernilai bagi orang-orang yang ada disekitarnya. Sang ibu sudah menunjukkan kepadaku  format lain dari kehidupan.  Bagaimana (seharusnya) manusia mampu mengedepankan rasa syukur untuk memandu jalan pulang.

Rabu, 29 Juli 2015

Jazz Atas Awan, Harmoni Lintas Dimensi

 Jazz Atas Awan (2013-2015), Harmoni Lintas Dimensi

 

Ada banyak cara manusia untuk mengungkapkan kekaguman mereka atas karunia-Nya. Salah satunya adalah lewat berkesenian. Hal ini yang dilakukan sahabat-sahabat Dieng Culture Festival, melalui pagelaran Jazz di Atas Awan (@jazzatasawan). Acara ini pertama kali digelar pada perhelatan Dieng Culture Festival tahun 2013, dan akhirnya menjadi agenda rutin dari rangkaian acara Dieng Culture Festival.

AbsurdNation at Jazz Atas Awan 2013, Dieng Culture Fest

Bagi saya, ini bukan sekedar pagelaran berbasis jazz. Bukan sekedar ikut-ikutan festival yang populer, atau cara-cara instant untuk mendatangkan massa. Jazz di Atas Awan adalah cara-cara kami, cara-cara kita untuk mempersembahkan apa yang kami miliki, kepada Nenek Moyang. Mendendangkan harmoni sebagai bentuk kekaguman atas karya sang Khalik. Pagelaran ini merupakan Momen spiritual, refleksi dari bagaimana generasi terdahulu berserah pada keagungan Sang Pencipta. Meramu ego dan rasa menjadi panjatan doa. Menggali ruang yang telah lama hilang.
 
Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa jazz? Kenapa bukan pop, rock, atau blues?

Jazz merupakan genre yang luas, yang pada awalnya berasal dari manusia-manusia yang protes pada keadaan. Mereka berkumpul, dan pada sebuah momen "Jam Session" kaum ini menyuarakan isi hati. Memasrahkan  logika berfikir kepada dimana ujung-ujung energi itu berlabuh. Mereka hanyalah kaum proletar yang secara tidak sadar berusaha untuk menghancurkan tembok pembatas kreativitas dan mercu suarnya adalah "rasa". Harapan saya, ekplorasi terhadap "rasa" ini yang terus menjadi pondasi dari Jazz atas Awan.
 
AbsurdNation at Jazz Atas Awan 2015
Semoga pagelaran ini tetap menjadi momen sakral, momen spiritual yang berbalut keceriaan diantara dua dimensi yang berbeda. Refleksi dari aktivitas Nenek moyang beribu tahun yang lalu, dimana mereka mempersembahkan hasil alam lewat ritual sedekah bumi disekitaran Candi. Wujud rasa syukur atas karunia dan restu-Nya. Kami, kita hadir untuk meneruskan tradisi ini dalam konsep yang berbeda. Siapapun berkesempatan untuk berapresiasi dan berkesenian di sana. Yang terpenting adalah, terus mengajak manusia untuk sadar, bahwa lingkungan juga merupakan bagian dari kehidupan. Mengingatkan kembali bahwa kita hanyalah seonggok daging tanpa restu dan karunia Ilahi.

Nanda Goeltom, 31 Tahun. Kurator Rasa.







Senin, 03 Februari 2014

Senja dan Kamu

S E N J A

Salah satu hal yang selalu aku rindukan disetiap hari selain matahari terbit, adalah ketika matahari hendak berpindah ke sisi dunia yang berbeda. Yap, kita sering menyebutnya senja. walau ini bukanlah sebuah ungkapan yang tepat. Sebenarnya, tiada yang terlalu spesial dengan senja. Ketika umurmu 30 tahun, setidaknya selama 20 tahun hidupmu dipertemukan dengan senja. 365 hari x 20 =  7300 hari kemungkinan dimana kamu melewatkan sore harimu bersua dengan senja. Sesuatu yang sederhana, namun pada beberapa moment tertentu kaya akan makna.


Saya sendiri bingung mendeskripsikan perasaan ini. Namun, saya tidak dapat berbohong untuk tidak mengatakan bahwa senja itu anugerah. Kado istimewa dari Tuhan untuk umatnya yang selalu peduli dan memperhatikan lingkungannya. Persembahan sederhana penguasa jagat raya untuk semua mahluk yang percaya bahwa heterogenitas menjadi awal dari keserasian. Potongan kecil dari Surga, untuk mereka yang menghargai perbedaan.
 Perlukan kita membicarakannya dari segi tehnis? Jujur, saya takut kualat karena ini terjadi karena tangan-tangan ajaib Ilahi. Senja ada ketika matahari mulai turun dan menuju ufuk barat, masa dimana terbenamnya matahari. Senja sendiri didefinisikan menjadi 3 bagian.
1. Senja Sipil. 6 derajat dibawah cakrawala di malam hari. Beberapa planet dan bintang terlihat dengan mata telanjang.
2. Senja Nautikal. 12 derajat dibawah cakrawala dimalam hari. benda dan cakrawala tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.
3. Senja Astronomi. 18 derajat dibawah cakrawala dimalam hari. Matahari tak menerangi langit, dan tak lagi bertentangan dengan pandangan astronomis.
Senja berbeda dengan terbenamnya matahari. (sumber : Wikipedia)
Gimana? cukup pusing dan tetap tidak bisa mendefinisikan sesuai perasaanmu kan? Yapp, itulah manusia. kita cuma bisa merencanakan, tapi yang Kuasa yg berhak memutuskan.

Capek kalo harus ngomongin tehnis. Sering sekali akhirnya kita terjebak pada sesuatu yang jauh dari esensinya. Senja terlalu indah untuk didefinisikan. Bahkan oleh sastrawan sekelas Pramoedya Ananta Toer pun takkan pernah sanggup untuk memberikan definisi yang menyeluruh tentang senja. Momen ini sering datang tanpa diduga, dan terkadang justru semacam cinderamata ketika hati sedang bergejolak. Mata semacam mendapatkan pasangan abadinya. Mendadak ada harmoni fana yang terngiang ditelinga. Getaran demi getaran merasuk dalam hati, lalu mengintervensi jantung dan mendistribusikan emosi keseluruh tubuh. Tidak perlu ada kata, hanya makna yang bergeliat untuk saling memenuhi tanda tanya dalam raga. Hembusan nafas pun beradu dengan setiap sekresi yang melintasi pori-pori. Luar biasa, bahkan itu baru sebuah phrase dari saya, dan masih ada 200 juta manusia yang tentunya memiliki definisi yang takkan pernah sama.

Keindahan itu bisa datang dalam kondisi apapun.
Keindahan tidak pernah memandang kondisi karena dia akan senantiasa hadir sebagai perwujudan kasih sayang alam terhadap manusia yang terkadang lupa akan kekekalan semesta.
Senja bak harmoni, atau kita yang menganggapnya harmoni.
Senja sesederhana mencintai, dibutuhkan sebuah alasan yang kuat yang menyatakan bahwa kita tidak punya alasan apapun untuk cinta.
Ornamen-ornamen ini punya warna masing-masing. Mereka semuanya indah, Namun, ketika mereka semua menjadi satu dalam senja, mereka sempurna.
Bukan bagaimana senja itu datang, tapi bagaimana dia menjadi inspirasi ditengah galaunya galaksi dalam bereaksi.

Terserahlah orang mau bilang bahwa senja itu berbeda dengan matahari terbenam. apapun itu, senja adalah anugerah terindah yang pernah saya terima. Mungkin banyak senja-senja lain yang lebih indah, tapi kamu satu, senja yang sempurna. senja yang sengaja ditunjukkan dan dihadiahkan Tuhan buat saya.


NB : Semua foto ini diambil dari twitter pada 25 desember 2013. foto-foto ini diunggah oleh Afgansyah Reza, Agnes Monica, Adib Hidayat, Motuls, Dhipa Barus, dan Bernard. Terimakasih atas semua foto yang menginspirasi.







Sabtu, 07 Desember 2013

Doktor Filsafat dan Dokter Firasat

Sore yang sendu
                Seperti biasa aku merencanakan sore yang diliputi gerimis ini dengan secangkir latte, kretek dan merenungkan perjalanan hidup. Tempat favoritnya adalah teras atas warungku. Dimana biasanya para pengunjung akan jarang menyambangi tempat ini ketika gerimis datang. Sepi namun menyenangkan. Seolah aku sedang memaknai surgaku. diam dan terkadang tersenyum sendiri. Abstrak tapi menyandu.

                 Namun, sore ini rencana rutinku terusik pada 2 orang laki-laki yang duduk didekat kursi dimana aku duduk. Mataku tertuju pada sebuah perdebatan antara dua orang intelektual muda. Mereka sama-sama bersikukuh dengan konsep berfikirnya. Argumen demi argumen terlontar dari masing2 pihak. Semakin lama semakin tajam. Aku terkesiap mendengarnya. Semuanya nyaris masuk dalam logikaku. Setap kalimat  mereka seperti memiliki nilai magis yg luar biasa. Penuh karakter dan dalam.

                 Pada awalnya aku berusaha cuek, dan menganggap perdebatan mereka sebagai bagian dari heterogenitas pemikiran antar sahabat. Sebuah konsep obrolan yang bertujuan menghabiskan waktu. Semacam basa basi. Ya, walau nggak banyak orang yang memahami konsep itu. Namun lama kelamaan aku terusik. Dialektika yang terjadi begitu menarik. Mereka berdua sungguh membiarkan tingkat kecerdasan mereka menguasai ego. Liar namun terarah. Aku tidak bisa membayangkan ketika salah satu dari mereka adalah orang yang bodoh. Pasti gelas minuman itu sebentar lagi akan melayang.

                Akhirnya aku mengenali dua orang ini. Yg tinggi kurus yg sering dipanggil "Kris". Entah Kristanto, atau siapalah. Yang berpostur sedang dan agak gemuk bernama "Ta". Mungkin Genta, Tata, atau Hatta. Kris ketika berbicara pendekatannya selalu historis dan dikombinasikan dengan teori2 yang terkait. Ta selalu berbicara dengan basis medis serta logika perasaan. Kombinasi yg unik menurutku untuk mengulik sebuah problem. Mereka terus berdebat, sesekali gurauan hadir di tengah keseriusan mereka. Terkadang Kris berdehem sambil bergumam ketika Ta menyampaikan argumen yang aneh. Sebaliknya, Ta terkadang mengernyitkan alis sambil tersenyum pahit ketika meragukan validitas dari teori yang disampaikan Kris.

                Aku menemukan surga baru. Semua rencana menikmati sore yang sendu dengan segala macam atributnya berubah total. Aku mendadak merasa hangat, dan akhirnya penuh semangat menyimak perdebatan dua orang sahabat ini. Tak terasa kursiku pun bergeser. Mengarah menghadap mereka. Yap, pertunjukan dimulai.

                Mereka semakin larut dalam perdebatannya. Gurauan pun sudah berubah menjadi tertawa yang menggema. Suara-suara datar pun berubah menjadi nada-nada yang terkadang melengking. Aku mulai merasakan getaran ego yang semakin tinggi diantara mereka. Dan semakin keras, semakin emosional. Lalu tiba-tiba..

                Mereka berhenti. Saling bertatapan tanpa bicara. Semacam sebuah transaksi kata lewat batin. Aku kecewa. Karena aku sempat bertaruh dengan setan-setan didalam hatiku mengenai bagaimana akhir dari kisah ini. Antara terjadi perkelahian, atau salah satu diantaranya tiba-tiba keluar dari arena perdebatan. Ternyata aku dan Setan dalam diriku sama-sama salah. kami semakin salah ketika menemukan mereka berpelukan. Hangat dan dalam sekali. Seperti dua saudara yang berpuluh tahun tidak bertemu. Aku merasa bersalah telah menghakimi akhir dari percakapan mereka. Sungguh diluar dugaan. Dramatis sekali. Aku akhirnya merasa perlu untuk tahu, kenapa ini bisa berakhir diluar ekspektasiku. Dengan sedikit malas, kulangkahkan kaki dengan gontai menuju meja mereka. Berat sekali.

                Serasa 2 jam untuk sampai pada meja mereka yang berjarak 3 langkah dari mejaku. Tapi apa boleh buat, daripada penasaran. Aku pun sampai di meja mereka. Sedikit kelu lidah ini untuk memulai. Akhirnya pita suara ini berderat.
 "Permisi mas mas, saya mau tanya nih", tanyaku pelan.
 "Oh, ya mas, gimana?", jawab Kris.
 Aku terdiam. Semacam bingung mau memulainya dari mana.
 "Lho mas, katanya mau tanya?", tanya Ta. Dia nampaknya menangkap gelagat bingungku.
 Aku harus berani, ujarku dalam hati.
 "Jadi gini mas, sebelumnya mohon maaf atas kelancangan saya. Daritadi sebenarnya saya menyimak perdebatan kalian berdua. Perhatian saya tidak bisa lepas dari pembicaraan kalian. Semakin lama terdengar semakin penuh dengan amarah. Tapi jujur saya bingung, kenapa perdebatan ini berakhir dengan berpelukan hangat. Sebenarnya apa yg terjadi?" Ujarku panjang. 
"Kami tau kog kalau kamu menyimak", ujar mereka. Matilah aku. pucat.

                Tiba2 mereka tertawa terbahak-bahak, semakin lama semakin kencang. Terkadang bersahut-sahutan. Mata mereka tak lepas dari sosok bodoh yang barusan bertanya. Iya, itu aku. Dan aku merasa seperti badut yang gagal membuat adegan yang menghibur. Kaku namun tak bertulang. Dingin pucat pasi. Akhirnya setelah reda, mereka memandangku.
“Kami ini dulu pernah saling mencintai, ujar Kris”.
 Astaga, berarti mereka Gay!, mimpi apa aku sore ini. 
 "Kamu gay ya mas?", tanya Kris.
Aku serasa mati dan dihidupkan untuk kemudian dibunuh kembali. Pucat sudah tidak lagi menghiasi wajahku. Mungkin sekarang wajahku berwarna ungu kebiruan. Pasokan aliran darah ke seluruh tubuh nampaknya berhenti. Mudah-mudahan hanya sementara.
“Tapi kami bukan gay lho, tambah Ta”.
 Hatiku lega. Jantungku mendadak kembali bekerja.
“ Kami sahabat dari kecil, dan berpisah ketika lulus SMA, 12 tahun yg lalu. Kami menghabiskan masa-masa kecil dan remaja dengan berdebat, hampir setiap bertemu. Kami menikmatinya. Dan terakhir perdebatan kami 12 tahun yang lalu, adalah mengenai kebetulan dan keharusan jodoh, serta kemungkinan apakah kami saling mencintai. Dan sekarang, kami mengulanginya lagi, walau dengan posisi sama2 sudah menikah, cerita Ta”. Pelan, terarah namun dalam.
“Kami berpelukan, karena kami menemukan kesimpulan bahwa kami masih saling mencintai pemikiran antara satu sama lain. Dan perdebatan ini merupakan cara kami menilai apakah dia masih "secerdas" dulu, Tambah kris". "Dan sore ini, setelah 12 tahun terpisah, kami kembali sepakat bahwa kami masih saling mencintai satu sama lain. Perubahan yang abadi, namun tetap bisa saling melengkapi. Ta menambahkan”.

              Aku semakin bingung. Seribu kata yang sudah disiapkan sirna ditelah gerimis.  Mereka akhirnya pamit. Aku kembali ke mejaku. Duduk merenungi kejadian tadi. Dan sore senduku berubah menjadi sore yang berkecamuk. Banyak sekali pertanyaan yang tak berujung pada hasil akhir. Bagaimana perdebatan mengukuhkan persahabatan. Bagaimana ego justru menjadi perekat. Bagaimana konsep saling melengkapi tanpa mengintervensi itu benar-benar terjadi. Aku bingung.. Tiba-tiba smartphone ku berbunyi. Aku mengenali namanya.
  "Aku udah selesai. Kita jadi ketemu?" Tanyanya. Aku tersenyum dan mengangguk. "Kog diem sih?" Tanyanya kembali. Okey, Aku lupa kalo percakapan ini berperantara sinyal. Bergegas kujawab telpon tersebut dan segera bergerak untuk menemuinya.

Semarang, 7 Desember 2013



Selasa, 05 November 2013

I'm Back :))

Haaaaaaiiiiii...

apa kabar dunia? saya yakin masih menyakitkan, namun terus menawarkan kesenangan. namanya juga hidup. Nggak baik kalo cuma sekedar bisa mengeluhkan keadaan, tetapi tidak ada satu solusi pun yg dikedepankan...

ahhh.. aku kangen cerita cerita disini, setelah lebih dari 2 tahun nggak pernah buka.
Mudah-mudah2an jadi awal baru dalam dunia tulis menulis.
Yah, itung2 selingan dalam menyelesaikan tesis saya yang sejauh ini niatnya saja masih berantakan.


tunggu postingan2 selanjutnya yaaaaaa...

 
bloggerlift elevator terbaik Kontraktor Pameranartsitektur