Manusia mempunyai kemampuan untuk mempertahankan diri
sendiri. Ini menjadi bekal awal yang sebenarnya tidak disadari. Kemampuan ini
akan muncul disaat-saat tertentu. Bahasa kerennya The power of Kepepet. Sayangnya, manusia menganggap ini bukan bagian
dari munajat Tuhan dan tidak berusaha dikembangkan. Saya tidak akan berbicara
mengenai keajaiban. Saya hanya berusaha menterjemahkan hidup dalam perspektif
yang lebih luas.
Seperti biasa saya nangkring di tokoku, ND Pendent. Toko ini
menyediakan ban dan velg mobil, baik baru maupun bekas. Terobosan berbau ngasal yang dirintis dari
jaman kuliah ini genap berusia 6 tahun. Hasilnya lumayan. Membiayai kuliahku
sampai pasca sarjana. Di Bulan Ramadhan ini, menghabiskan waktu disana melupakan salah satu solusi terbaik
untuk menunggu waktu berbuka puasa. Dari sisi ibadah, godaan dalam menjalankan ibadah juga minim.
Hari ini berjalan dengan
baik. Baiknya untuk istirahat saja, maksud saya. Panasnya menguapkan
semua. Baik cairan didalam tubuh, maupun kadar kecerdasaan yang saya miliki. Diawal
bulan puasa ini, dunia variasi otomotif cenderung lesu. Beruntunglah, Ada
beberapa pelanggan yang mampir. Disitu cobaan datang. Bekerja dilapangan itu
memang penuh tantangan. Kita dituntut untuk mampu menakar kadar tenaga dengan
kondisi cuaca, disisi lain juga harus mampu mengatur energi sampai waktu buka
tiba. Cilakanya, kadar moodku juga ikut
menguap.
Waktu sudah menunjukkan pukul 5 lebih. Saatnya aku bersiap
dan bergegas pulang. Keluarga tercinta pun sudah mengabarkan bahwa mereka sudah
menyiapkan hidangan istimewa untuk buka puasa hari ini. Menarik. Kupersiapkan
energi dan charger terbaik untuk menemani 30 menit perjalanan pulang. Yak,
sepasang headset dan pemutar mp3 dari smartphone usang. Layaknya penyiar radio,
kusiapkan playlist berisi 8 lagu untuk berkaraoke di udara. Deta, si Motor tua ini pun segera melaju ditengah
ramainya lalu lintas.
Sore yang padat. Semua orang sepertinya sedang berlomba
untuk memacu kendaraannya demi menembus waktu. Harapannya, bisa berbuka puasa
dengan tepat waktu dirumahnya masing-masing. Demikian pula diriku, dahaga ini
terasa semakin mempersempit aliran darah ke kepala. Mata mulai terasa perih
akibat lautan karbon monoksida bercampur debu. Entah mengapa, semakin berusaha
untuk menemukan jalan pintas disela-sela antrian truk dan bus, disitu pula aku
mengalami stagnansi. Alih-alih memperbaiki mood, pilihan lagu yang berputar
ikut mendukung suasana chaos itu. Double time swing ini membuatku semakin
menggila.
Sepertinya alam tau, bahwa dalam beberapa menit kedepan, aku
akan mencapai boiling point. Titik
Didih. Dan, kado itu datang. Titik didihku hadir lebih cepat. Ditengah
kemacetan itu aku bersebelahan dengan sesosok wanita. Lebih tepatnya ibu-ibu. Bertubuh gemuk dan berkulit sawo matang,
menggunakan motor matic, dan membonceng dua keranjang dibelakangnya. Saya nyaris
mengiranya gila karena mendengar dia seperti sedang bicara dengan dunianya
sendiri. Jangankan suara di headsetku, Raungan knalpot motorku pun sepertinya
ditelan mentah-mentah oleh lantangnya suara wanita ini. Aku memutuskan untuk
mengamati absurdnitasnya lebih jauh.
Kami belum bergerak. Observasiku mencapai hipotesisnya.
Tebakan pertamaku, dia adalah seorang wanita yang menghabiskan waktunya untuk
berjualan dipasar tradisional. Ini diperkuat dari dua keranjang yang dia boceng
dibelakangnya. Hipotesis ini diperlemah karena motor yang dia gunakan terlalu
bersih untuk bersinggungan dengan dunia perbecekan. Tebakan keduaku, dia adalah
seorang sales keliling. Selain keranjang, beberapa kardus didalam keranjangnya
menguatkan dugaan ini . Namun, terlepas dari hipotesis-hipotesis yang muncul tadi, ada
sebuah pertanyaan besar yang muncul dibenakku. Apakah dia lupa bahwa seharusnya dia sudah
pulang dari tadi dan menyiapkan menu berbuka untuk keluarga tercinta.
Fokusku
terpaku pada perilaku ibu ini. Terkadang suaranya melengking dan membuat semua
pengendara motor yang ada disekitarnya menoleh. Terkadang dia bersuara konstan. Seperti berbicara tapi
berirama. Aku menyimpulkan kalo dia sedang bernyanyi, Dan konsisten falesnya.
Aku merasa hari ini adalah hari paling bahagia yang dia alami. Sorotan-sorotan
tajam dari pengendara sekitar akibat suara-suara rancunya ditanggapi dengan
senyuman. Keheranan dan hiruk pikuk semua pengendara dijalan yang macet sore
itu seolah menambah kegembiraan yang sedang dia hadapi. Ibu ini fana..
Kemacetan
pun berangsur-angsur terurai. Walau demikian, keinginan untuk berbuka puasa
dirumah sudah kuikhlaskan. Azan telah berkumandang. Tapi kepalang tanggung,
walau Para penjaja es buah dan kolak terus menggoda, mengajak untuk berbuka
bersama. Sekitar 15 menit tambahan waktu
perjalanan pulang ini kunikmati sambil melihat muda-mudi menenggak es kelapa
muda. Berusaha mensuggesti rasa walau
dengan menelan ludah sendiri. Mas Aditya
Sofyan mulai memainkan dawai gitarnya dan bernyanyi parau. Gaze. Tiba-tiba
ingatanku kembali kepada sosok ibu gemuk dan energik tadi. Aku tiba-tiba takut.
Jangan-jangan suara yang dilantunkannya dalam bentuk nyanyian tadi adalah
mantera-mantera agar semua orang dalam
radius 3 meter disekitarnya kena pelet!.
Jujur, Aku
terharu dengan semangat hidupnya. Bagaimana dia mentransformasi semua energi
negatif yang ada disekitarnya menjadi elemen-elemen positif. Aku sendiri tidak
memungkiri bahwa selepas pertemuan tadi aku merasa lebih tenang walau harus
menahan 15 menit lebih lama untuk berbuka. Entah bagaimana, semua kejengkelan
tadi sirna. Aku merasa malu. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, aku hampir
yakin bahwa apa yang dia dapatkan mungkin tidak sebanding dengan perjuangan
yang dilakukan. Belum lagi, tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu bagi
keluarganya. Tentunya ini akan menyedot banyak energi dan materi. Disisi
lain,dengan dia memilih profesi sebagai pedagang/sales, tentunya dia akan terbebani
dengan target penjualan. Apalagi di Semarang, kondisi transaksi perekenomian
sedang cenderung lesu. Aku yakin pasti sang ibu tetap memikirkan hal tersebut.
Namun, sepertinya dia melarung semua dogma itu, jauh sebelum dia bertolak
pulang. Beliau menyiapkan kado terbaik untuk bertemu keluarganya. Kado itu
bernama kegembiraan. Ibu ini membuka katup berfikirku. Menalanjangi sisi-sisi
negatif yang seharusnya tidak perlu aku gubris. Ibu gendut ini mengajarkan
keindahan yang sebenarnya. Kesederhanaan dalam membangun komposisi kebahagiaan.
Kesadaran untuk menjadi bernilai bagi
orang-orang yang ada disekitarnya. Sang ibu sudah menunjukkan kepadaku format lain dari kehidupan. Bagaimana (seharusnya) manusia mampu mengedepankan
rasa syukur untuk memandu jalan pulang.