Selasa, 10 Juli 2018

Media Sosial dan Kandidat Pemimpin Kita


Bulan juni ini menjadi bulan dimana pesta demokrasi diberbagai daerah digelar. Secara serentak beberapa  Provinsi di Indonesia mengadakan pemilihan umum untuk menentukan siapa yang akan memimpin daerahnya dalam 5 Tahun kedepan.  Jawa Tengah sendiri juga menjadi salah satu daerah yang menjadi bagian dari pesta demokrasi tersebut. Berbagai persiapan menuju perhelatan akbar itu telah digelar. Mulai dari masa sosialisasi, kampanye, debat para calon, dan masa tenang. Masing – masing pasangan juga telah sepakat untuk menjaga pesta demokrasi ini menjadi ajang yang fair, bebas kampanye hitam dan kondusif. Ini tercermin dari statement dari masing-masing pasangan yang sudah beredar di media sosal dan media cetak.

Berkaca dari pergerakan kampanye para pasangan calon, ada perbedaan yang cukup signifikan dalam pemilihan umum 1 dasawarsa ini. Sosial media, sebagai sebuah platform komunikasi digital baru dalam masyarakat mulai dimaksimalkan pemanfaatannya sebagai media kampanye dan media informasi oleh para pasangan calon dan partai pendukungnya. Berbagai citra dan konten mulai dibuat dan disebarluaskan lewat berbagai platform digital untuk menarik simpati, menyampaikan visi misi, dan juga meraih kepercayaan dari para calon pemilihnya. Para pasangan calon juga mulai mengurangi janji-janji yang berpotensi terekam dalam jejak digital yang pada akhirnya justru menjadi bomerang ketika nantinya mereka telah terpilih menjadi pemimpin di suatu daerah. Beragam macam pencapaian dibungkus sedemikian rupa untuk mempresentasikan bahwa mereka adalah orang yang layak untuk diberi suara.
Pemanfaatan sosial media sebagai media kampanye ini juga memperbesar presentase respon dari para pemilih-pemilih muda. Para pelajar dan mahasiswa dikenal sangat kritis terhadap unsur-unsur estetika dalam bersosial media. Ketika tim kampanye mampu melihat potensi itu dan kemudian bisa merumuskan konsep promosi dengan benar, hal ini menjadi kunci utama bagaimana para pasangan calon mendulang suara dari para pemilih pemula. Layaknya sebuah merek, pasangan calon juga merupakan sebuah produk yang ditawarkan. Siapapun yang mampu memetakan pasar digital dan membuat konten yang menarik untuk segmentasi pasarnya, merekalah yang akan memenangkan persaingan di dunia digital tersebut.

Janji, Realita dan Kabar Bohong

                Sekarang ini, hampir semua kandidat telah mampu mengatur sedemikian rupa mengenai citra mereka di sosial media. Ini tentunya berkat tim-tim branding yang menjadi penyokong setiap tampilan yang ingin disampaikan kepada netizen. Namun, problematika selanjutnya yang dihadapi oleh Badan Pengawas Pemilu dan KPU adalah mengenai regulasi dan tata cara bersosial media dalam kaitannya dengan kampanye dunia maya. Seperti diketahui bahwa media sosial tidak termasuk produk pers, karena itu mereka yang terlibat dalam pemanfaatan transaksi informasi tidak terikat dengan Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers.
Komisi Pemilihan Umum sendiri melalui Peraturan KPU Nomor 4/2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota, membatasi akun resmi setiap pasangan paling banyak lima akun. Regulasi yang sama juga mengatur isi atau konten kampanye di media sosial. Namun apakah itu cukup untuk mengontrol kebohongan –kebohongan yang timbul dalam hitungan detik di sosial media? Apakah ini mampu untuk meredam janji dan realita yang dipelintir secara konteks oleh lawan politik untuk mendongkrak simpatik?. Faktanya, salah satu kelemahan dari media sosial adalah, ketika sesuatu propaganda telah dirilis, tidak ada kekuatan sebesar apapun yang mampu untuk meralat atau mengubah pengaruh dari  berita tersebut, sekalipun klarifikasi telah dilakukan oleh sang penyebar konten. Lalu, bagaimana solusinya?

Keterlibatan Sosial Media Analysist
Salah satu solusi alternatif adalah dengan membangun jaringan sosial media di seluruh instansi pengawas pemilu. Mulai dari kecamatan hingga ke pusat jaringan ini saling terintegrasi demi tercapainya kesamaan dan kesataraan bobot informasi. Pembangunan saluran ini dimulai dengan aktivasi dari konten – konten edukasi seputaran pemilu. Edukasi ini tidak hanya berupa aturan-aturan terkait regulasi, namun juga dengan membuat konten untuk membangun mental melakukan pencarian lebih lanjut sebelum menerima setiap ide yang dilontarkan di sosial media.
Penekanan terhadap adanya Undang-Undang No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga dapat dijadikan bahan kampanye oleh Badan Pengawas Pemilu dan Komisi Pemilihan Umum. Harapannya adalah, para pengguna media sosial memahami konsekuensi yang akan dihadapi ketika mereka menjadi bagian dari gerbong hoax tersebut. Namun itu saja tidaklah cukup. Ditengah terbuka lebarnya informasi di dunia digital ini, pendekatan “moral sense” menjadi salah satu jawaban untuk mencegah kabar bohong tersebar luas, yang justru menciderai pesta demokrasi tersebut.
Alternatif lain yang bisa dilakukan adalah dengan bekerja sama dengan akun-akun publik yang bertumbuh dimasing-masing kota. Seperti kita ketahui bahwa ditiap-tiap kota bertumbuh akun-akun layanan informasi yang dikelola oleh individu-individu. Dengan menjalin hubungan dan kerjasama dengan mereka, KPU dan Bawaslu akan lebih mudah untuk memantau dan berkoordinasi ketika dikemudian hari berkembang isu/kabar bohong yang bertujuan untuk saling menjatuhkan kandidat.
Pada akhirnya, mengutip quote dari Romo Prof. Dr. Frans Magnis Suseno SJ, bahwa pemilu itu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.
 .
Henry Casandra Gultom / @nandagoeltom
Staf Pengajar Universitas PGRI Semarang

0 komentar:

Posting Komentar

 
bloggerlift elevator terbaik Kontraktor Pameranartsitektur