Hati itu kaya makna

Nggak semua yang dirasakan itu bisa dan layak untuk diutarakan.

Hati itu kaya rasa

Sebaliknya, tidak semua yang diutarakan itu juga bisa tersampaikan dan diterjemahkan dalam hati, kecuali rasa.

Hati itu jujur

Tak Ada tawa dan duka dalam kepalsuan. Biar hati yang menentukan

Hati itu peka

Seringkali semua yang terlihat menjebak manusia dalam persepsi, terkadang dangkal.

Hati itu Dunia

Semua misteri di dunia ini mampu kita pecahkan, kecuali dalamnya hati seseorang. Manusia tercipta bukan untuk menyakiti dunia. Karena dunia ada dalam hati manusia.

Rabu, 11 Desember 2013

Memo Buat Mama

Dulu, semua terasa ramai.riuh.
Tidak ada yang benar, walau benar tidak selamanya benar.
Malam akan selalu menjadi wacana istirahat
Karena mama akan selalu merenggutnya.
Rumah kita, istana kita. itu wasiatnya.kelak.

Hari demi hari menjadi momok
Tidak ada ketenangan, tidak ada kerinduan
Ego menjadi panduan berfikir dangkal
Benci karena harus menjadi antek liarnya imajinasi
Rumah kita, Istana kita. itu wasiatnya, kelak.

Namun, sekarang kami sedikit bahagia.
Tak ada lagi lengkingan dan pekik kemarahan
Takdir terjadi dan dia kembali.
semua berubah menjadi kesunyian.
Bahagia yang fana. Sedih dalam sebenarnya.
Rumah kita, istana kita, itu wasiatnya, kelak.

Meja itu berserakan. Kursi menjadi saksi penyesalan
Halaman menjadi sulaman daun.
Kamar tak ubahnya kandang sapi
Dapur menjadi arena pembunuhan
Tak ada lagi keteraturan
Semuanya seolah hilang ditelan pusara
Air mata menggarami semua manisnya bahagia
Sepi, namun semuanya berkecamuk dalam hati
Rumah kita. istana kita. itu wasiatnya, kelak

Aku masih disini.
mengambil secarik kertas, menuliskan sebuah kalimat
Kuselipkan dalam sanubari.
Kelak kukirimkan disetiap doa
Aku kangen mama.
Rumah kita, istana kita. Mama yang selalu jadi bidadarinya.

Sabtu, 07 Desember 2013

Doktor Filsafat dan Dokter Firasat

Sore yang sendu
                Seperti biasa aku merencanakan sore yang diliputi gerimis ini dengan secangkir latte, kretek dan merenungkan perjalanan hidup. Tempat favoritnya adalah teras atas warungku. Dimana biasanya para pengunjung akan jarang menyambangi tempat ini ketika gerimis datang. Sepi namun menyenangkan. Seolah aku sedang memaknai surgaku. diam dan terkadang tersenyum sendiri. Abstrak tapi menyandu.

                 Namun, sore ini rencana rutinku terusik pada 2 orang laki-laki yang duduk didekat kursi dimana aku duduk. Mataku tertuju pada sebuah perdebatan antara dua orang intelektual muda. Mereka sama-sama bersikukuh dengan konsep berfikirnya. Argumen demi argumen terlontar dari masing2 pihak. Semakin lama semakin tajam. Aku terkesiap mendengarnya. Semuanya nyaris masuk dalam logikaku. Setap kalimat  mereka seperti memiliki nilai magis yg luar biasa. Penuh karakter dan dalam.

                 Pada awalnya aku berusaha cuek, dan menganggap perdebatan mereka sebagai bagian dari heterogenitas pemikiran antar sahabat. Sebuah konsep obrolan yang bertujuan menghabiskan waktu. Semacam basa basi. Ya, walau nggak banyak orang yang memahami konsep itu. Namun lama kelamaan aku terusik. Dialektika yang terjadi begitu menarik. Mereka berdua sungguh membiarkan tingkat kecerdasan mereka menguasai ego. Liar namun terarah. Aku tidak bisa membayangkan ketika salah satu dari mereka adalah orang yang bodoh. Pasti gelas minuman itu sebentar lagi akan melayang.

                Akhirnya aku mengenali dua orang ini. Yg tinggi kurus yg sering dipanggil "Kris". Entah Kristanto, atau siapalah. Yang berpostur sedang dan agak gemuk bernama "Ta". Mungkin Genta, Tata, atau Hatta. Kris ketika berbicara pendekatannya selalu historis dan dikombinasikan dengan teori2 yang terkait. Ta selalu berbicara dengan basis medis serta logika perasaan. Kombinasi yg unik menurutku untuk mengulik sebuah problem. Mereka terus berdebat, sesekali gurauan hadir di tengah keseriusan mereka. Terkadang Kris berdehem sambil bergumam ketika Ta menyampaikan argumen yang aneh. Sebaliknya, Ta terkadang mengernyitkan alis sambil tersenyum pahit ketika meragukan validitas dari teori yang disampaikan Kris.

                Aku menemukan surga baru. Semua rencana menikmati sore yang sendu dengan segala macam atributnya berubah total. Aku mendadak merasa hangat, dan akhirnya penuh semangat menyimak perdebatan dua orang sahabat ini. Tak terasa kursiku pun bergeser. Mengarah menghadap mereka. Yap, pertunjukan dimulai.

                Mereka semakin larut dalam perdebatannya. Gurauan pun sudah berubah menjadi tertawa yang menggema. Suara-suara datar pun berubah menjadi nada-nada yang terkadang melengking. Aku mulai merasakan getaran ego yang semakin tinggi diantara mereka. Dan semakin keras, semakin emosional. Lalu tiba-tiba..

                Mereka berhenti. Saling bertatapan tanpa bicara. Semacam sebuah transaksi kata lewat batin. Aku kecewa. Karena aku sempat bertaruh dengan setan-setan didalam hatiku mengenai bagaimana akhir dari kisah ini. Antara terjadi perkelahian, atau salah satu diantaranya tiba-tiba keluar dari arena perdebatan. Ternyata aku dan Setan dalam diriku sama-sama salah. kami semakin salah ketika menemukan mereka berpelukan. Hangat dan dalam sekali. Seperti dua saudara yang berpuluh tahun tidak bertemu. Aku merasa bersalah telah menghakimi akhir dari percakapan mereka. Sungguh diluar dugaan. Dramatis sekali. Aku akhirnya merasa perlu untuk tahu, kenapa ini bisa berakhir diluar ekspektasiku. Dengan sedikit malas, kulangkahkan kaki dengan gontai menuju meja mereka. Berat sekali.

                Serasa 2 jam untuk sampai pada meja mereka yang berjarak 3 langkah dari mejaku. Tapi apa boleh buat, daripada penasaran. Aku pun sampai di meja mereka. Sedikit kelu lidah ini untuk memulai. Akhirnya pita suara ini berderat.
 "Permisi mas mas, saya mau tanya nih", tanyaku pelan.
 "Oh, ya mas, gimana?", jawab Kris.
 Aku terdiam. Semacam bingung mau memulainya dari mana.
 "Lho mas, katanya mau tanya?", tanya Ta. Dia nampaknya menangkap gelagat bingungku.
 Aku harus berani, ujarku dalam hati.
 "Jadi gini mas, sebelumnya mohon maaf atas kelancangan saya. Daritadi sebenarnya saya menyimak perdebatan kalian berdua. Perhatian saya tidak bisa lepas dari pembicaraan kalian. Semakin lama terdengar semakin penuh dengan amarah. Tapi jujur saya bingung, kenapa perdebatan ini berakhir dengan berpelukan hangat. Sebenarnya apa yg terjadi?" Ujarku panjang. 
"Kami tau kog kalau kamu menyimak", ujar mereka. Matilah aku. pucat.

                Tiba2 mereka tertawa terbahak-bahak, semakin lama semakin kencang. Terkadang bersahut-sahutan. Mata mereka tak lepas dari sosok bodoh yang barusan bertanya. Iya, itu aku. Dan aku merasa seperti badut yang gagal membuat adegan yang menghibur. Kaku namun tak bertulang. Dingin pucat pasi. Akhirnya setelah reda, mereka memandangku.
“Kami ini dulu pernah saling mencintai, ujar Kris”.
 Astaga, berarti mereka Gay!, mimpi apa aku sore ini. 
 "Kamu gay ya mas?", tanya Kris.
Aku serasa mati dan dihidupkan untuk kemudian dibunuh kembali. Pucat sudah tidak lagi menghiasi wajahku. Mungkin sekarang wajahku berwarna ungu kebiruan. Pasokan aliran darah ke seluruh tubuh nampaknya berhenti. Mudah-mudahan hanya sementara.
“Tapi kami bukan gay lho, tambah Ta”.
 Hatiku lega. Jantungku mendadak kembali bekerja.
“ Kami sahabat dari kecil, dan berpisah ketika lulus SMA, 12 tahun yg lalu. Kami menghabiskan masa-masa kecil dan remaja dengan berdebat, hampir setiap bertemu. Kami menikmatinya. Dan terakhir perdebatan kami 12 tahun yang lalu, adalah mengenai kebetulan dan keharusan jodoh, serta kemungkinan apakah kami saling mencintai. Dan sekarang, kami mengulanginya lagi, walau dengan posisi sama2 sudah menikah, cerita Ta”. Pelan, terarah namun dalam.
“Kami berpelukan, karena kami menemukan kesimpulan bahwa kami masih saling mencintai pemikiran antara satu sama lain. Dan perdebatan ini merupakan cara kami menilai apakah dia masih "secerdas" dulu, Tambah kris". "Dan sore ini, setelah 12 tahun terpisah, kami kembali sepakat bahwa kami masih saling mencintai satu sama lain. Perubahan yang abadi, namun tetap bisa saling melengkapi. Ta menambahkan”.

              Aku semakin bingung. Seribu kata yang sudah disiapkan sirna ditelah gerimis.  Mereka akhirnya pamit. Aku kembali ke mejaku. Duduk merenungi kejadian tadi. Dan sore senduku berubah menjadi sore yang berkecamuk. Banyak sekali pertanyaan yang tak berujung pada hasil akhir. Bagaimana perdebatan mengukuhkan persahabatan. Bagaimana ego justru menjadi perekat. Bagaimana konsep saling melengkapi tanpa mengintervensi itu benar-benar terjadi. Aku bingung.. Tiba-tiba smartphone ku berbunyi. Aku mengenali namanya.
  "Aku udah selesai. Kita jadi ketemu?" Tanyanya. Aku tersenyum dan mengangguk. "Kog diem sih?" Tanyanya kembali. Okey, Aku lupa kalo percakapan ini berperantara sinyal. Bergegas kujawab telpon tersebut dan segera bergerak untuk menemuinya.

Semarang, 7 Desember 2013



 
bloggerlift elevator terbaik Kontraktor Pameranartsitektur